
Menurut The Backyard Syndicate – bekerjasama dengan Request Event Organizer, mereka bilang bahwa antara ke-3 scene tersebut ada benang merahnya yaitu radical teen spirits yang nota bene merupakan bagian penting dari subkultur (baca: non-mainstream). Untuk mewujudkan mimpi masif itu diajaklah serta Suicide Glam (GLAM), DJ Daniel Suwenda (GROOVE) plus, for sure, Superman Is Dead (DISTORTION) sebagai bintang utama. Tepat pukul 21.30 acara dimulai. Punker, clubber, socialite, fashion freak, surfer/skateboarder, turis manca negara, berjubel memenuhi penjuru ruangan yang terhitung luas. Sebuah pemandangan yang tidak biasa & had never happened before in Bali. Post Men was given the honored to begin this historical moment. Band beraliran Rapcore a la Rage Against The Machine bernama Post Men yang popularitasnya minim di Bali ini sanggup menunjukkan kelasnya. They were truly dope. Walau publik tak terlalu akrab dengan lagu-lagu ciptaan mereka namun publik tersimak menikmatinya. Permainan mereka terdengar rapi hampir tanpa cela. Belum lagi tempo turun, Djihad langsung menggebrak setelah Post Men. This anarcho-punk outfit fantastically blew people away. Once they started pumping their first self-written song, the dance floor turned to be pogo dancing, slamdancing, moshing festival. Everybody went absolutely berserk. I mean everybody, defenitely. Harus diakui, band ini memang punya kharisma kuat. Fans fanatiknya relatif banyak. Kualitas vokal dari Roy (lead vox) benar-benar menakjubkan. Sebagian dari pengunjung terlihat ikut menyanyi. Sebagian berjingkrak-jingkrak di tempat. Sebagian cuma bengong terhenyak melihat musik & penampilan mereka yang “ajaib”: rambut mohawk, jaket full spike, combat boots, khas dandanan para punker yang bertebaran di jalanan Kings Road, London. Wajar saja jika ada yang sebegitu tercengang melihat band macam Djihad sebab di Kuta sendiri tak satu klub pun “berani mati” mempersembahkan hiburan anarkis jenis begini. Salah seorang wanita kulit putih paruh baya berkomentar antusias, “Wow, this reminds me of Sex Pistols in concert, back in their glory days!” Nuansa clubbing langsung terasa ketika Electrofux mengambil alih kemudi. DJ Iman, resident DJ di toko Quiksilver, menyuguhkan Electro Boogie ke atmosfir yang tadinya pekat dengan gemuruh Terrorcore oleh Djihad. Tergoda oleh musik mirip-mirip breakdance tempo doeloe yang energetik, salah satu penonton bule coba memperlihatkan kepiawaiannya bertari kejang. Skill-nya boleh juga. Setelah sekitar 20 menitan Electrofux beraksi, para model Rusty memenuhi panggung dengan pagelaran busananya yang bertemakan surfing lifestyle. Saya pribadi, jujur saja, kurang paham dengan estetika busana selancar. Jadi saya tidak mencoba berkomentar di sini. Atau mungkin saya hanya bisa bilang koleksi ikat pinggangnya ultra cool. Toh, penonton tampak enjoy – terutama komunitas surfer/skateboarder, terbukti Rusty memperoleh tepuk tangan meriah dari penonton. Selanjutnya Commercial Suicide (CS). Band yang baru cuma punya 2 singles & dulunya mengarah (agak) ke Rapcore, malam itu justru nihil memainkan lagu mereka sendiri. Mereka kebanyakan malah menggeber tembang-tembang nu-metal & White Zombie-esque type thing. Weird. They were quite good cover band. They just needed to practice a bit more. Otherwise they would lose the people’s respect which they had already got (and it was big) back then. They still had that rock star attitude, though. And it helped them a lot. Lolot, their guest guitarist, well known as Bali’s Rock’n’Roll Guitar God, stole that night’s show. Lolot, with his breathtaking techniques & wide range of Rock’n’Roll references, deserved a standing ovation for his magnificent guitar playing. Yang juga menarik dicatat di sini, gayanya memegang gitar berbeda dengan tendensi generasi masa kini yang cenderung membiarkan tali gitar membentang panjang sampai maksimal hingga harus sedikit membungkuk jika memainkan gitar. As opposed, Lolot santai saja menggantungkan gitarnya cuma sampai sebatas pinggang (think Mus Mujiono). Old skool rules, dude! Semoga saja dari acara ini Lolot mulai bisa membuka mata orang serta memberinya penghargaan lebih layak dari sekadar rasa hormat & takjub dari musisi-musisi (underground) muda yang ngeh akan kompetensi Lolot. Hey, look, even Bobby, vox of SID, admitted that he first learned to play guitar from Lolot! Rock’n’Roll needs to show its damn beautiful miracle to this soft-spoken dude named Lolot… Ketika Commercial Suicide mengakhiri gig-nya, tanpa banyak jeda Suicide Glam (SG) memulai pagelaran busana Rock’n’Rollnya. Sebenarnya koleksi mereka tidaklah bermain di pola yang rumit, tidak menggunakan bahan-bahan non konvensional layaknya fashion show oleh Gaultier atau Alexander McQueen, tidak bergaya avant-garde a la kontingen desainer dekonstruktif dari Belgia, pun tidak memakai material kelewat sophisticated. Konseptor SG tampak lebih menyukai arah busana siap pakai dari bahan katun kelas satu. Nuansa Rock’n’Roll efektif terefleksikan antara lain lewat kemeja bersablonkan gitar Rickenbacker di dada dengan tulisan glitter “Reverend Rockabilly Vampire” di punggung, sablonan dengan sentuhan handpainting bergambar vintage hot rod dengan latar belakang api di bagian dada + tulisan “The Fast And The Furios” di punggung, atau yang paling sederhana (namun tetap jitu mencuatkan “racun” glampunkabilly) seperti t-shirt “Dead Elvis” atau “Elvis From Hell” atau “Teenage Frankenstein Modelling School”. Lebih dari itu, para model yang memperagakan baju SG diantaranya vox berambut mohawk dari Djihad, vox CS, one dreadlock looking guy, a dude with tattoos all over his body, etc. Even Jerinx (SID drummer, Bali’s Rock’n’Roll Prince Charming) used to be SG model. Konon, SG memang menghindari memakai jasa model profesional. SG wanted to keep it real. SG lebih memilih meminta bantuan teman-teman terdekat utamanya yang dianggap representatif menyodokkan spirit Rock’n’Roll. Pun patut dicatat, pilihan lagu pengiring pagelaran busana yang notabene bukan dari genre House/Trance, Bubblegum Pop, atau varian musik seperti fashion show pada umumnya. On the contrary, what blasted off the sound system was stuff from Atari Teenage Riot, Stray Cats, Therapy?, Billy Idol and all that. No wonder all the models seemed to enjoy being involved in that show. I assumed they didn’t feel like they were “selling out” alias berkhianat pada roots Rock’n’Roll. Quentin, MC eksentrik asal Sydney yang jadi pemandu acara malam itu bahkan terang-terangan mengaku fans berat SG di depan khalayak. Right on. I could feel a sense of rebellion here. And, in this context, rebellion has kept the younger generation (you, me, us) alive and kicking. Go check your history book if you disagree with me, sucker. Permulaan yang cukup menjanjikan ini sebaiknya konsisten dipertahankan oleh SG. Akan lebih baik jika SG sepenuhnya menciptakan kreasi-kreasi orisinal. Di beberapa koleksi yang ditampilkan ada sebagian kecil karya yang meng-copy nama-nama band manca negara. Walau diberi sentuhan baru, sebisanya kurangi/hindari/eliminir kecenderungan memproduksi baju-baju memakai atribut band-band luar negeri. Atau, hey, itukah yang dimaksudkan desainer SG sebagai “reinterpretasi”? Quentin, that Australian badass MC took over the mic right after fashion show had finished. He announced the super star for tonight: Superman Is Dead, Bali’s most promising Rock’n’Roll band! Band yang terdiri atas Bobby (guitar, vox, once tagged as “the bastard child of NOFX’s Fat Mike” since his voice definitely sounded like him), Eka (bass, backing vox, has massive un-Rock’n’Roll attitude especially when he throws out his typical “hillbilly” Balglish jokes type thing to the crowd yet he’s proud to smoke clove cigarettes, ha! Oh, speaking of Balglish, this phrase can be meant either Balinese mixes with English language or speaking English with super strong Balinese accent) dan Jerinx (drum, sometimes backing vox, …er, what more can I say about this guy rather than just he’s Bali’s Rock’n’Roll Prince Charming and having damn good taste of glampunkabilly fashion? Well, for some, that includes me, he’s the most kick-ass, with tons of complicated techniques & skillfully amazing young drummer), bagai menghipnotis seluruh gedung untuk merangsek mendekat menuju stage. Begitu tembang pertama dimainkan, adrenalin rush kembali terjadi. Lantai dansa seketika menjadi ajang lautan manusia yang begitu bersemangat ber-slamdancing, moshing, pogo, whatever. Mereka semua ikut menyanyi seolah hafal tiap patah kata yang diucapkan Bobby. Khalayak tersimak akrab dengan hampir seluruh lagu yang dimuntahkan SID. And, you should know by now, 90% of SID’s songs are in English (!). And the crowd sang along – in English, hell yeah – with SID enthusiastically (!!). Harus diakui SID punya pesona luar biasa. Entah terdengar berlebihan, mereka bisa dibilang sudah memenuhi syarat untuk tiba di popularitas nasional. I believe it’s just a matter of time. International? Maybe. Maybe not. You never know. They are relatively well-prepared to go global, though. They already have most of their lyrics written in English, to say the least. Dalam skala nusantara, optimisme tersebut bukan sebuah mimpi kosong. Berjubel faktor signifikan yang mendukung. Berbeda dengan band-band seangkatannya yang berguguran satu demi satu (SID terbentuk akhir ’95), SID still stands tall, stays productive, rocks hard & is not dead. Begitulah, sampai hari ini SID masih eksis, tak lekang oleh jaman. Tawaran manggung bak tak berkesudahan. Malah café-café internasional di Kuta sudah mulai membuka diri, berani membayar SID untuk beraksi di tempat mereka serta mempersilakan SID membawakan lagu-lagu karangan sendiri. Hal macam begini sebelumnya belum pernah terjadi di Bali. Wow. Sementara bentuk support dari media menonjol tercuat dari frekuensi seringnya diputar lagu-lagu berlirik Inggris SID oleh stasiun-stasiun radio lokal berpengaruh. Media cetak berbahasa Inggris terbitan Bali tak mau ketinggalan. Permintaan wawancara datang dari mana-mana. Bahkan SID mendapat kehormatan tampil sebagai cover depan salah satu dari itu majalah. Fans terus dan terus bertambah. Fenomena ini tentu saja sungguh menarik. Berpijak dari segala fakta di atas itulah kenapa saya berani bilang: it’s just a matter of time. Keraguan yang tadinya menggantung di pikiran saya tentang dapat atau tidaknya lirik lagu berbahasa Inggris diterima oleh publik Indonesia pupus sudah. Bali saja welcome, bagian Indonesia yang lain kenapa tidak? Atau kecenderungan yang terjadi di Bali memang berbeda, tak begitu saja bisa disamakan dengan daerah lain di Indonesia? Atau Dewi Fortuna sudah mulai pelit berbagi keajaiban (kepada yang berhak & layak mendapatkannya)? Apa pun itu, SID telah mencetuskan revolusi musikal di Bali. Tergantung sekarang pada keberpihakan nasib baik saja terhadap SID. Dewi Fortuna, halo?
Kembali ke acara Glam, Groove & Distortion, setelah menggelontorkan 20 lagu-lagu milik sendiri (satu diantaranya tembang asyik berjudul “Burn For You”, materi untuk album ke-4 mereka, dengan menghadirkan punker cewek bule belasan tahun), SID menyudahi penampilannya. Penonton seluruhnya bertepuk tangan sangat meriah dan berteriak gempita penuh puja puji. Salut buat SID. Keep it real, you badass Rock’n’Roll rebels! Pesta belum berakhir. Masih ada DJ Daniel Suwenda, DJ muda penuh bakat dan cukup populer di kalangan serious nightlifers, juga DJ Wayne, resident DJ di klub Aina. Sayang, setengah dari penonton beringsut pergi saat belum lagi DJ Daniel memelintir piringan hitamnya. Bisa jadi mereka pikir pertunjukan telah berakhir. Bisa jadi mereka sudah merasa cukup lalu memutuskan untuk pulang. Bisa jadi mereka melanjutkan pengembaraan malamnya ke klub lain. Dari (taksiran kasar) 400-an orang yang tadinya hadir, hanya 100-an orang, dominan cewek, yang masih tetap tinggal. Giliran para mahluk manis itu yang memenuhi sebagian lantai dansa. Sihir DJ Daniel dengan koleksi Progressive House/Trance-nya ternyata lumayan kuat. Orang-orang bertahan sampai sejam kemudian. Waktu telah menunjukkan jam 2 dini hari. Mengingat cuma sedikit pengunjung yang masih tersisa, DJ Wayne batal menunjukkan kebolehannya. Kebetulan kehadirannya bersifat insidental, tidak tercatat dalam daftar artis yang bakal main malam itu. Maybe next time ya, bro? Secara keseluruhan show ini bisa dikategorikan sebagai “cukup sukses” – jika hendak menghindari sebutan “super sukses” yang mungkin terdengar terlalu bombastis. Can’t wait to have this real different, way cool, punk-ass-whiskey-soaked kind of entertainment anytime soon! Bravo!
RUDOLF DETHU